• Seperti halnya spasi, jarak dibutuhkan untuk memberikan makna - Anonim
    "Halosemuanamasayabudisayaberasaldarikotabekasisalamkenalya!" Entah apa yang terjadi pada kata bila spasi tidak menyertainya. Saya, anda dan mereka tidak akan dapat memahami apa yang hendak disampaikannya. Dengan begitu, kata tidak dibutuhkan lagi keberadaannya. Sebab, apalah fungsi kata bila ia tidak memiliki makna. Isyarat tubuh dapat menggantikan perannya dengan sempurna. Maka untuk itulah spasi bekerja. "Halo semua! Nama saya Budi. Saya berasal dari kota Bekasi. Salam kenal ya!" Aha, terasa lebih baik bukan?

    Ternyata, seperti halnya kata, manusia juga membutuhkan spasi untuk tetap hidup dan berada. 'Spasi' itu lebih dikenal dengan sebutan 'jarak'. Hanya saja, manusia seringkali tidak menyadarinya. Berbeda dengan kata, manusia memiliki pola interaksi antarsesama yang lebih kompleks dan beragam. Semisal, manusia dengan orang tuanya, manusia dengan temannya, atau manusia dengan manusia lain yang dikaguminya. Dan, jarak bekerja di seluruh pola interaksi antarmanusia tersebut.

    Ketika telah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, manusia akan melangkah ke fase hidup berikutnya, entah itu melanjutkan studi di bangku kuliah atau merantau untuk mencari kerja, yang berarti manusia harus rela berpisah sementara dengan sang orang tua. Jarak pun bekerja di antara mereka. Manusia seringkali menyesali fakta ini. Rasa takut akan ketidakberadaan orang tua yang selama ini selalu melindunginya menjadi alasan utama. Padahal, setiap manusia jelas sangat membutuhkan jarak tersebut, guna menjadi seorang manusia dewasa yang siap hidup mandiri tanpa bantuan induknya lagi, yang kelak akan menua dan meninggalkan dunia untuk selamanya.

    Masih seputar bangku sekolah. Setelah melalui proses kelulusan, manusia akan berpindah lingkaran dan bertemu dengan lingkungan kekerabatan yang baru. Dengan berpindah lingkaran, maka manusia harus berpisah dengan teman-teman lama di lingkaran terdahulu. Jarak kembali bekerja. Pada masa ini, manusia cenderung sulit untuk membuka diri kepada lingkungannya yang baru. Ia sudah terlanjur nyaman hingga tidak ingin berpisah dengan para teman lamanya. Padahal, kembali, setiap manusia jelas sangat membutuhkan jarak tersebut, karena semakin banyak manusia hidup di sejumlah lingkaran yang berbeda, maka semakin banyak pula warna kehidupan yang didapatkan. Manusia dapat belajar banyak hal yang berbeda dari setiap lingkaran yang disinggahinya tersebut. Dan yang terpenting, manusia menjadi bisa melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang yang berseberangan, hingga ia dapat menyimpulkan apabila pada dasarnya setiap tindakan manusia itu memiliki unsur kebenarannya masing-masing.

    Bahasan yang terakhir ini mungkin sulit untuk bisa dimengerti oleh manusia, termasuk pula saya. Jarak yang bekerja pada pola interaksi manusia dengan manusia lain yang dikaguminya (dalam artian fans) ternyata memiliki makna tersendiri, sehingga keberadaan jarak tersebut menjadi penting. Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menonjolkan seluruh kelebihannya dan menutupi seluruh kekurangannya di hadapan manusia yang lain, dengan itu maka image baik pun akan mereka peroleh, sebuah hal yang sangat manusiawi. Image baik pun berlanjut menghasilkan daya tarik. Daya tarik ini yang menjadikan manusia memiliki perasaan kagum terhadap manusia yang lain. Dan, manusia cenderung akan bergerak untuk terus memperpendek jarak di antara ia dengan sang idola. Secara logika, semakin dekat manusia dengan manusia lainnya, maka ia akan semakin mengenal keseharian dari manusia tersebut, baik itu kelebihan maupun kekurangannya. Bila kita telah mengetahui semua kekurangan dari mereka yang selama ini kita kagumi, adakah jaminan bagi kita untuk tetap senantiasa mengagumi manusia tersebut? Terlebih, jikalau kekurangan yang dimaksud secara langsung menyerang dan merugikan diri kita. Bukan tidak mungkin perasaan kagum yang sebelumnya dimiliki akan berubah menjadi perasaan benci. Hmm..

    Fin.

  • There's no such thing as primordial conflict - Stefan Wolff 
    Sedikit mengutip pernyataan dari Stefan Wolff, "Identitas tidak pernah menjadi akar dari suatu konflik yang sebenarnya." Ya, bahwasanya yang menjadi penyebab dari terjadinya suatu konflik ialah terdapat satu pihak yang ingin mempertahankan identitasnya.

    Berikut kronologinya: Bila ada satu pihak yang gigih ingin mempertahankan identitasnya, maka satu pihak yang lain secara otomatis akan menjadi subjek yang berada di pertengahan. Dirinya harus memilih, apakah akan menuruti keinginan pihak pertama dengan konsekuensi harus melepaskan identitas asli yang dimiliki, atau tetap bertahan pada pendirian sehingga terjadilah sebuah konflik?

    Sebuah konsepsi yang tepat dan juga brilian untuk menggambarkan konflik secara ilmiah. Mungkin, karena itulah agama Islam selalu menekankan ayat 'Lakum Dinukum Waliyaddin'.

    Anyway, everyone hates conflict. But, is that what we really have in Palestine? Hmm.